Kamis, 25 September 2008

Warga Timika Gagal Temui Direksi Freeport

16 September 2008 04:23:30


JAKARTA - Eksistensi PT Freeport Indonesia (FI) di Timika yang telah beroperasi lebih dari 40 tahun tetap dipermasalahkan penduduk sekitarnya. Tujuh orang wakil suku Amugme yang tinggal di Desa Tsinga, Waa-Banti, Aroanop, Distrik Tembagapura, Timika, Papua, kemarin (15/9) mendatangi kantor pusat PT FI di Jakarta. Mereka didampingi aktivis Indonesian Human Rights Committee for Social Justice (IHCS).
"Mereka mempertanyakan bagaimana MoU tahun 2000 yang isinya PT FI berjanji membikin sarana dan prasarana serta dana perwalian. Kini sudah delapan tahun, tapi belum ada perkembangan," kata Direktur Program IHCS Gunawan. Namun, tujuan kedatangan rombongan tidak berhasil dengan memuaskan karena mereka hanya diterima staf di Departemen Hukum Dan Komunikasi PT FI.
"Jawabannya standar, hanya ditampung dan berjanji untuk dibawa ke direksi. Padahal, kami sebelumnya minta ketemu direksi," lanjutnya. Selain soal MoU, tambah Gunawan, hal lain yang juga dikemukakan dalam pertemuan itu adalah rusaknya hak ulayat yang mereka miliki karena aktivitas pertambangan PT FI. Misalnya rusaknya Danau Wanagon.
Lagi-lagi wakil PT FI juga menjawab klise. Karena itu, hari ini wakil Amungme bersama IHCS akan dating ke Komnas HAM. "Kami akan meminta mereka melakukan mediasi antara kedua pihak," tambah Gunawan.
Apakah kedatangan dan ketidakpuasan mereka itu berkaitan dengan serangkaian teror di Timika? "Basis massa mereka tidak terkait dengan aksi kekerasan yang terjadi belakangan ini. Kami datang tanpa demo. Ini artinya kami mau damai," jawabnya. (naz/nw)




Rabu, 21 Mei 2008

MK Kabulkan Sebagian Uji Materiil UU Penanaman Modal

Majelis hakim Mahkamah Konstitusi (MK) mengabulkan sebagian uji materi UU Nomor 25/2007 tentang Penanaman Modal yang bertentangan dengan Undang-Undang Dasar (UUD) 1945. Keputusan majelis hakim konstitusi yang dibacakan oleh Ketua Majelis Hakim, Jimly Asshiddiqie, dalam sidang putusan pengujian UU Penanaman Modal terhadap UUD 1945, di Gedung Mahkamah Konstitusi, Jakarta, Selasa (25/3).

Pengajuan uji materi terhadap UU Penanaman Modal itu dilakukan dua pemohon, yakni pemohon pertama oleh 10 lembaga swadaya masyarakt, antara lain Perhimpunan Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia (PBHI), Federasi Serikat Buruh Indonesia (FSBJ), Aliansi Petani Indonesia (API), Yayasan Bina Desa Sadajiwa (YDBS), dan Yayasan Wahana Lingkungan Indonesia (Walhi). Sedangkan, pemohon kedua adalahn Daipin dengan kuasa hukumnya, Patra M. Zen, dari YLBHI.

Majelis hakim menyatakan, Pasal 22 ayat (1) UU Penanaman Modal sepanjang menyangkut kata-kata "di muka sekaligus", Pasal 22 ayat (2) sepanjang menyangkut kata-kata "di muka sekaligus" dan Pasal 22 ayat (4) sepanjang menyangkut kata-kata "sekaligus di muka", bertentangan dengan UUD 1945 serta tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.

Pasal 22 ayat (1) huruf a, menyebutkan, Hak Guna Usaha dapat diberikan dengan jumlah 95 tahun dengan cara dapat diberikan dan diperpanjang di muka sekaligus selama 60 tahun dan dapat diperbarui selama 35 tahun. Kemudian, huruf b menyatakan, Hak Guna Bangunan dapat diberikan dengan jumlah 80 tahun dengan cara dapat diberikan dan diperpanjang di muka sekaligus selama 50 tahun dan dapat diperbarui selama 30 tahun.

Serta, huruf c, menyatakan bahwa hak pakai dapat diberikan dengan jumlah 70 tahun dengan cara dapat diberikan dan diperpanjang di muka sekaligus selama 45 tahun dan dapat diperbarui selama 25 tahun.

"Pasal 22 ayat (1), (2) dan (4) sepanjang menyangkut kata-kata di muka sekaligus UU Penanaman Modal, tidak mempunyai kekuatan hukum, " ujar Jimly.

Sedangkan Pasal 12 ayat (2) huruf b UU Penanaman Modal yang didalilkan pemohon inskonstitusional atau dianggap melanggar UUD harus dinyatakan ditolak.

"Dalil para pemohon tentang inskonstitusional ketentuan Pasal 1 ayat (1), Pasal 3 ayat (1) huruf d, Pasal 4 ayat (2) huruf a, Pasal 8 ayat (1) dan ayat (3), Pasal 12 ayat (1), ayat (3), dan ayat (4), serta Pasal 21 UU Penanaman Modal adalah tidak beralasan, sehingga permohonan seluruhnya harus dinyatakan ditolak, " katanya.

Sebelumnya, para pemohon menyatakan bahwa UU Penanaman Modal menyediakan beragam 'kemewahan' demi mengundang investasi mulai dari kemudahan pelbagai bentuk pajak, pemberian izin hak guna usaha selama 95 tahun sekaligus, bebas memindahkan modalnya kapan, dan di manapun hingga bebas dari masalah nasionalisasi.

"Sprit UU PM adalah keterbukaan yang besar-besarnya untuk mengundang investasi asing. Selain itu, UU ini hanya membuat Indonesia semakin menjadi sub ordinat, atau sekdar kepanjangan tangan kepentingan global bukan sebagai turunan stategi kepentingan nasional, untuk peningkatan kesejahteraan rakyat dan kemandirian ekonomi, " ujar Pakar Ekonomi ECONIT Hendri Saparini.

Menanggapi keputusan Mahkamah Kosntitusi, Kuasa Hukum dari 10 lembaga pemohon uji materi UU Penanaman Modal, Johnson Panjaitan, menyatakan kecewa dengan putusan MK, yang hanya mengabulkan sebagian uji materi UU tersebut.

"Majelis hakim hanya melihat dari sisi fisiknya saja dalam memutuskan UU Penanaman Modal, padahal filosofinya berkaitan dengan uang serta tidak melihat akan kondisi ke depan, " tegasnya.

Sementara itu, dari sembilan majelis hakim konstitusi dalam mengeluarkan putusan tersebut, dua di antaranya memiliki alasan berbeda (Concurring Opinion) dan pendapat berbeda (Dissenting Opinion), yakni HAS Natabaya dan Maruarar Siahaan.

Hakim konstitusi Maruarar Siahaan, dalam Dissenting Opinionnya menyatakan, perlakuan yang tidak sama, akan melahirkan ketidakadilan yang secara jelas bertentangan dengan konstitusi.

Minggu, 04 Mei 2008

Rawan Pangan Nasional Belum Teratasi

Tuesday, 12 February 2008
Jakarta,(APIndonesia.Com). Terhitung sejak empat tahun terakhir, situasi rawan pangan nasional tak kunjung bisa teratasi sampai sekarang. Bahkan, angka perempuan dan balita penderita gizi buruk dan busung lapar yang berujung pada kematian semakin meningkat jumlahnya. Demikian ungkapan Gunawan, Direktur Progam Indonesian Human Rights Committee for Social Justice (IHCS) di Jakarta, Selasa, (12/2).

Gunawan melanjutkan selain di beberapa daerah muncul gejolak kenaikan harga akibat kelangkaan sejumlah bahan pangan. “Kondisi ini bukan hanya mengancam kehidupan masyarakat produsen dan konsumen, namun juga meresahkan sektor usaha kecil yang bergerak di bidang pangan,” ujarnya.

Menurut Gunawan hak atas pangan adalah hak yang paling asasi manusia. HAM adalah hukum internasional, di mana negara adalah subyek hukum yang berkewajiban untuk menghormati, melindungi, dan memenuhi HAM pada umumnya dan pada khususnya adalah tanggung jawab negara untuk menjamin hak atas pangan warga negaranya (Governments have a legal obligation to respect, protect and fulfil the right to food).

Demi menjamin ketersediaan pangan, pemerintah lebih memilih untuk menghapus bea masuk kedelai dan terigu yang berasal dari luar (impor) daripada memberi insentif kepada petani produsen pangan. “Untuk menjawab persoalan pangan, pemerintah harus menyelesaikan dari akar permasalahan. Perlindungan terhadap petani (produsen) tetap diabaikan, sementara pelaku kejahatan perdagangan seperti penimbunan 13.000 ton kedelai oleh PT. Cargil belum mendapat tindakan hukum” ujar Gunawan.

Bukti pengabaian terhadap produsen pangan dan pertanian nampak karena tiap tahun sekitar 120.000 ha lahan pertanian beralih fungsi, sementara kemampuan pemerintah untuk melakukan perluasan area pertanian hanya 30.000 ha. Di samping itu, struktur penguasaan tanah pertanian sudah menunjukkan keadaan yang sangat timpang.

Di sektor kelautan, menurut Gunawan mencontohkan, Nelayan-nelayan tradisional dibiarkan bertarung dengan kapal penangkap ikan modern yang melakukan illegal fishing. Selain itu, akses serta infrastruktur untuk nelayan lokal masih sangat minim.Tak ayal, para nelayan tersebut menjadi buruh migran adalah salah satu pilihan untuk mempertahankan hidup atas pengabaian ini, yang jumlah terus meningkat dari tahun ke tahun, di mana 75%nya adalah perempuan, dan 90% bekerja sebagai buruh rumah tangga. Ironisnya, kendati telah banyak menyumbangkan devisa bagi pendapatan nasional, namun kasus-kasus kekerasan tetap marak menimpa sejumlah TKI. “Buruh-buruh migran diperlakukan sewenang-wenang di negeri jiran dan tidak ada perlindungan sama sekali dari pemerintah” tuturnya.

Lembaga yang secara khusus ditugaskan untuk menangani persoalan pangan, yaitu Badan Ketahanan Pangan, dan Aliansi Nasional Melawan Kelaparan. Namun, hingga saat ini institusi-institusi tersebut tak sanggup mengatasi krisis pangan, gizi buruk serta busung lapar. Dan, cita-cita kedaulatan pangan pun semakin sulit terwujud. (Setyawan)

PHK sepihak PT. Indo Semar Sakti

Jakarta 22 Feb 2008, Pemutusan hubungan kerja (PHK) terhadap buruh terus berguulir dengan tidak memperhatikan hak-hak para pekerja. Kali ini Pemutusan Hubungan Kerja terjadi di PT. Indo Semar Sakti dengan mem-PHK Riana, dkk (4 Orang) yang telah bekerja di perusahaan tersebut lebih dari 12 tahun.

Kejadian tersebut berawal pada tanggal 6 Desember 2007, dengan mengeluarkan Surat Nomor : 0433/ Mts./Pers. I.S.S 12. 2007 kepada Riana, Surat Nomor : 0431/ Mts./Pers. I.S.S 12. 2007 kepada Endang Suganda, Surat Nomor : 0432/ Mts./Pers. I.S.S 12. 2007 kepada Mardiyah, dan surat Nomor : 0430/ Mts./Pers. I.S.S 12. 2007 kepada Guntur Efendi, yang kesemuanya ditandatangani oleh H.M Edy Suwarno dengan jabatan sebagai Manager Personalia/Umum PT. Indo Semar Sakti.

Surat tersebut pada intinya menyatakan bahwa PT. Indo Semar Sakti melakukan mutasi terhadap Riana, dkk ke PT. Indo Semar Mulya Karya di Melawai. Mutasi tersebut dilakukan dengan alasan untuk efisiensi perusahaan.
Bahwa Riana, dkk tidak menyetujui mutasi yang dilaksanakan oleh PT. Indo Semar Sakti, karena selain tidak disosialisasikan kepada Riana, dkk juga dikarenakan penempatan pekerjaan yang tidak sesuai dengan keahlian para Riana, dkk, dan mutasi itu sendiri merupakan pelecehan terhadap hak-hak para pekerja.

Bahwa di tempat yang baru, PT. Indo Semar Mulya Karya, Riana, dkk menempati posisi yang tidak sesuai dengan keahliannya. Mereka di tempat yang baru tersebut harus bekerja sebagai buruh bangunan karena PT. Indo Semar Mulya Karya baru dalam tahap pembangunan untuk menjadi hotel. Hal tersebut tentunya bertentangan dengan Pasal 32 Ayat (2) UU. No. 13 Tahun 2003 menyatakan bahwa, “ Penempatan tenaga kerja diarahkan untuk menempatkan tenaga kerja pada jabatan yang tepat sesuai dengan keahlian, keterampilan, bakat, minat, dan kemampuan dengan memperhatikan harkat, martabat, hak asasi, dan perlindungan hukum.”

Bahwa mutasi yang dilakukan oleh PT. Indo Semar Sakti, walaupun masih dalam satu holding company, akan tetapi keduanya adalah suatu subyek hukum yang berbeda sehingga proses mutasi itu sendiri menunjukkan adanya PHK secara sepihak.
Untuk itu, kami meminta agar :

PT. Indo Semar Sakti menghormati dan menjunjung tinggi hak asasi atas pekerja dengan membayarkan hak-hak dari para pekerja tersebut.
Agar PT. Indo Semar Sakti mempunyai itikad baik dalam menyelesaikan permasalahan tersebut.
Dan jika tidak ada itikad baik dari PT. Indo Semar Sakti, maka kasus ini akan diperjuangkan hingga pengadilan hubungan industrial
Menyerukan kepada segenap rakyat Indonesia untuk mendukung perjuangan kaum buruh PT Indo Semar Sakti

Jakarta, 21 Februari 2008


Hormat Kami,

Ecoline Situmorang, S.H.
Ketua Komite Eksekutif IHCS

Nb : Info Lebih Lanjut hubungi
Beni Sinaga, SH (Staf Lawyer Committee for Human Rights IHCS)

IHCS-Indonesian Human Rights Committee for Social Justice
Jl. Budhi I/No.2 Komplek Pajak Slipi Jakarta Barat
Tel/Fax:021 5305664
Email:kantor_ihcs@yahoo.co.id
Blog:http://ihcs07.blogspot.com/

Penangkapan Polri atas 15 WNA Diprotes

(Sinar HarapanKamis, 10 April 2008) Jakarta-Lima belas warga negara asing yang berasal dari beberapa negara termasuk negara anggota ASEAN, Pakistan, India, Srilanka, dan Korea yang menggelar pawai budaya padi yang diadakan oleh Koalisi Rakyat untuk Kedaulatan Pangan (KRKP) ditangkap oleh Polda Metro Jaya, Selasa (8/4), mendapatkan reaksi dari Indonesian Human Rights Committee for Social Justice (IHCS) yang merupakan elemen dari Institute for Social Justice (ISOJU).
Para warga asing ini yang mengaku tak tahu-menahu soal penangkapan itu, karena mereka berniat untuk ke kantor ASEAN ternyata malah dibawa ke kantor Polda Jaya tanpa ada pemberitahuan dan informasi sebelumnya.
“Kita menyayangkan penangkapan di Polda tak sesuai prosedur saat penangkapan. Mereka diperlakukan seperti itu sebelum kita (IHCS) para lawyer ini datang,” ujar Direktur IHCS Ridwan Darmawan di Jakarta, Rabu (9/4).
Para warga asing itu kemudian diserahkan kepada pihak imigrasi, Selasa (8/4), tanpa pendampingan. Baru pukul 03.00, Rabu (9/4) dini hari, pemeriksaan selesai kemudian pihak imigrasi memberikan tanda terima paspor ke seluruh WNA.
Koordinator KRKP Witoro sebagai penanggung jawab aksi itu sempat dimintai keterangan. “Kami juga akan mempertanyakan secara prosedural, pihak imigrasi yang tak memperkenankan kami (IHCS) untuk melakukan pendampingan,” ujarnya kepada SH, di kesempatan berbeda, Rabu (9/4).
Para WNA ini diminta kembali ke Departemen Imigrasi, Kamis (10/4), dan pihak IHCS akan lakukan upaya hukum. IHCS tetap akan memantau dan mendampingi kembali pada pukul 10.00 WIB di Departemen Imigrasi. “Beberapa WNA itu juga akan melaporkan ke Kedubes negara masing-masing,” ujar Ridwan.
(sihar ramses simatupang)

Rabu, 23 Januari 2008

Mahkamah Rakyat Internasional


Para peserta sidang mahkamah pengadilan rakyat internasional.
Hakim Mahkamah Pengadilan Rakyat Internasional membacakan putusan. Jika juridiksi negara tidak mampu mengambil tindakan hukum kepada siganta, maka jurdiksi rakyat akan mengambil tindakan hukum dengan jalan rakyat.

Dari belahan bumi yang lain yaitu negara Brasil. Petaninya datang memberikan kesaksian atas kondisi yang mereka alami dari perbuatan para pengusaha transnasional.


Jaksa Penuntut menghadirkan para petani dari Korea Selatan sebagai korban dari perusahaan transnasional. Mereka memberikan kesaksian pada sidang mahkamah rakyat internasional.

Penuntutan terhadap perusahaan transnasional pada Mahkamah Rakyat Internasional yang diselenggarakan di kampung CSF pada Senin (10/12 2007). Mahkamah Rakyat Internasional ini diselenggarakan oleh aliansi Gerak Lawan, IHCS (Indonesian Human Rights Committee for Social Justice). Nampak Para hakim pengadilan rakyat internasional saat sidang penuntutan perusahaan transnasional yang mengalahkan pemerintah dalam memutuskan kebijakan publik di bidang pertanian.